besti69
besti69
besti69
besti69

Bedah Tari Klasik Bali: Tari Jongkok (Terkenal).

RADARSOLO.COM – The (Famous) Squatting Dance, teater tari menghiasi On Stage Studio Plesungan edisi ke-15. Tak lama berselang, karya sutradara perupa muda asal Bali, Wayan Sumahardika ini ditampilkan secara epik di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Rabu malam (10/5/2023).

Malam itu, musik gamelan Bali yang indah bergema. Tubuh penari bernama Tri Ray Dewantara mulai melintir. Gerakannya hampir seperti pertunjukan arsip tari Wayan Sampih. Salah satu murid I Marya tampil di layar lebar di belakang panggung.

Nama tariannya adalah Igel Jongkok. Menurut sutradara dan penulis acara Suma, Tari Jongkok (Terkenal) ini dilatarbelakangi oleh pembacaan kritis Arsip Bali 1928. Hal itu terkait dengan tari Igel Jongkok yang diciptakan oleh seorang maestro tari dari Pulau Dewata, Bali I Ketut Marya.

“I Ketut Marya adalah seorang penari terkenal di Bali pada tahun 1920-an. Banyak yang menganggap Marya sebagai maestro tari pembaharuan,” kata Suma kepada Jawa Pos Radar Solo.

Seperti yang sering dijumpai oleh masyarakat Bali dan Indonesia pada umumnya, tarian tradisional kuno dimaksudkan untuk keperluan ritual atau sembahyang. “Lalu datanglah aku Marya. Dengan keahliannya, ia mengembangkan sebuah tarian yang bisa dikatakan modern pada masa itu. Menawarkan estetika koreografi, dengan mengeksplorasi bentuk jongkok dan pola lantai,” tambah Suma.

Inilah yang membuat tarian Igel Squat menarik. Bahkan bisa dikatakan, Igel Jongkok merupakan satu-satunya tarian di Bali yang mengeksplorasi gerakan jongkok. “Karena saat itu belum banyak koreografer atau penari yang berpikir untuk mendalami latihan jongkok,” tambah pria kelahiran 1992 ini.

Selain Tri Ray Dewantara, Igel Jongkok juga dibawakan dengan apik oleh Jacko Kaneko dan Krisna Satya. Total ada tiga orang penari yang selain menampilkan gerakan gemulai, juga diiringi dengan dialog. Pelan-pelan mereka menjelaskan detail tarian Igel Squatting.

Dalam produksi Forum Pertunjukan Mulawali, jongkok kembali dibacakan sebagai sumber ide. Sambil mengurai pengungkapan kata jongkok, yang mengandung arti berbagai ilmu. Pada saat yang sama, jaringan gagasan dan berbagai narasi politik-estetik hadir dan terus berkembang.

“Saya juga membordir Arsip Igel Jongkok Bali 1928 dengan konstruksi jongkok. Saya hadirkan melalui biografi tubuh para pelakunya,” kata Suma.

Menurut Suma, masyarakat menganggap kata jongkok sebagai sesuatu yang sepele, jorok, sehingga ditempatkan dalam praktik sosial kelas bawah. Padahal, konteks jongkok sangat lekat dengan budaya leluhur.

Pemandangan di atas squat kemudian mulai berubah. Setelah pembangunan rezim kolonial Belanda masuk, hingga kebijakan negara yang begitu kuat pengaruhnya. Sehingga mengubah persepsi orang terhadap kata jongkok.

“Bahkan jika kamu melihat lebih dalam, jongkok adalah latihan khusus. Tidak semua ras di dunia bisa jongkok dengan posisi penuh menyentuh tanah. Orang barat misalnya. Mereka tidak bisa jongkok. Tumit mereka tidak bisa menyentuh tanah,” katanya.

Jika diperhatikan lagi, sebenarnya banyak pekerjaan yang dilakukan dengan cara jongkok. Seperti yang ditunjukkan pada tarian Jongkok Igel. Bercerita tentang kegiatan berkebun, dimana seorang ayah harus jongkok berjam-jam untuk merawat tanaman.

“Contoh lainnya adalah saat ritual. Seperti saat melakukan sesaji tertentu, akan lebih mudah jika dilakukan dengan berjongkok. I Marya mungkin tidak akan bisa menciptakan tari jongkok jika tidak memperhatikan budaya sosial dan budaya jongkok itu sendiri,” kata Suma.

Seiring berjalannya waktu, tarian Igel Jongkok lebih dikenal dengan nama Kebyar Sat. Menurut Suma, pergantian nama ini menarik untuk ditelusuri kebenarannya. Bagaimana tarian yang dulu dikenal dengan nama Igel Jongkok, perlahan berubah dan dikenal dengan nama Kebyar Duduk.

“Di luar pemahaman mana yang benar atau salah, kita bisa merasakan konstruksi politik di baliknya. Di mana ada upaya untuk menunjukkan kesantunan,” jelasnya.

Sedangkan Suma sengaja menjejalkan berbagai gerakan improvisasi ke dalam pementasan Igel Jongkok. Namun dibalik itu semua, ia ingin menonjolkan arsip-arsip sebagai sumber sejarah sebagai bukti kebenaran yang sahih. Diimplementasikan dalam gerakan tari dan dialog.

“Tubuh penari seperti arsip hidup. Merekalah yang terus mereproduksi, sekaligus mendekonstruksi realitas sejarah masa lalu dalam arsip. Sehingga masih hadir dan disaksikan secara live hingga detik ini,” jelasnya.

Mengenai gerakan squat dance Igel, sama seperti tarian lainnya. Ada pembukaan, isi dan penutup. “Varian ini menarik untuk dibandingkan satu sama lain. Lihat apa yang berubah? Apa bedanya? Apa yang bisa dibuka dalam konteks perkembangan tari Igel Jongkok, dari zaman I Marya, Sampih, hingga Mang Tri?” jelas Suma. (nis/fer/bendungan)

Reporter: Mannisa Elfira