Joko Sriyono, Konsisten Berkarya Lestarikan Wayang Beber
RADARSOLO.COM – Jika Anda sering melewati kawasan Hordenasan, Baluwarti, pasti tidak asing lagi dengan papan nama yang bertuliskan Bengkel Seni dan Kerajinan Naladerma. Meski hanya berupa rumah kecil, di dalam studio terdapat wayang beber sepanjang 21 meter yang dibuat oleh legenda seniman sungging wayang beber berusia 72 tahun asal Kota Bengawan, Joko Sriyono.
PUTRI SEPTINA FADIA, Solo, Radar Solo.
Seorang lelaki berambut putih sedang meletakkan kuas dengan tinta di atas kain putih yang di atasnya terdapat sketsa cerita wayang beber. Sejenak pria ini menghentikan aktivitasnya ketika koran ini datang untuk berbicara.
Ya, Joko Sriyono memang memiliki hobi menggambar sejak kecil. Saat berusia 8 tahun, Joko sudah mengenal seni wayang beber. Bisa dibilang, wayang beber sudah mendarah daging di tubuh Joko. Ketika duduk di bangku SMP hingga SMA, Joko muda memilih untuk mengambil kelas sore. Di pagi hari, ia menggunakannya untuk berlatih menggambar wayang beber.
“Saya belajar wayang beber sejak awal. Sempat beralih menjadi desainer batik. Tapi kemudian kembali ke wayang beber. Itu sekitar tahun 1970-an,” kata Joko saat ditemui di studionya.
Joko merupakan salah satu legenda hidup seniman wayang beber di Kota Bengawan. Joko bahkan mendapatkan ilmunya langsung dari punggawa Keraton Kasunanan, Raden Ngabehi Atmosoepmo. Maklum, Joko lahir dari pasangan abdi dalem Keraton Kasunanan. Alhasil, sejak lahir Joko sudah akrab dengan kesenian wayang beber.
“Kamu tahu kenapa namanya wayang beber? Karena cara memainkan wayang ini digulung terlebih dahulu, baru disingkap. Dahulu, wayang beber tidak menggunakan kain. Tapi daun palem. Seperti daun pandan. Kemudian dicincang sampai hitam. Tanpa pewarna,” jelasnya.
Di sanggar mungilnya, Joko membuat wayang beber sepanjang 21 meter dan panjang 80 sentimeter (cm). Ini berisi 24 cerita yang dibuat dalam satu kain panjang. Semuanya, Joko melakukannya sendiri. Ia mengaku belum ada rencana untuk merawat wayang beber buatannya. Dipamerkan atau dijual, Joko tak bisa menjawab.
“Dulu ada yang mau beli. Tapi dibayar di muka, saya tidak mau. Karena sangat macet dalam pembuatannya. Dulu juga dikunjungi oleh turis Australia. Tapi saya juga pernah ke pameran. Di mal, di toko buku. Dengan bantuan teman-teman,” katanya.
Joko mengatakan, pewarnaan wayang beber di era modern saat ini menggunakan cat tembok yang berwarna-warni. Dulu, Joko pernah melewati masa mewarnai wayang beber menggunakan langes (jelaga) untuk warna hitam. Atau gunakan kunyit untuk warna kuning. Yang tetap sama adalah teknik menggambarnya, dengan blat. Alias menggambar di atas kain dengan menempelkan gambar sketsa di bawah kain.
“Saya senang banyak orang datang untuk belajar di sini. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Mereka biasanya datang berkelompok. Masih banyak yang ingin kuliah di sini,” lanjutnya.
Joko mengaku Sanggar Naladerma didirikan karena kepeduliannya terhadap kelestarian wayang beber di Solo. Apalagi di tengah perkembangan yang semakin modern ini. Menurutnya, melalui sanggar ini Joko bisa berbagi ilmu tentang wayang beber kepada siapa saja yang berkunjung.
“Yang mau tanya-tanya boleh. Saya senang ketika banyak siswa yang mulai mencari tahu tentang wayang beber. Karena wayang beber langka, orang yang ingin menekuni seni kriya wayang beber pun semakin jarang. Mungkin karena anak jaman sekarang lebih suka yang mudah. Membuat wayang beber butuh kesabaran dan ketelitian yang tinggi,” ujarnya. (*/sanggul)
Reporter: Septina Fadia