besti69
besti69
besti69
besti69

Kiai Bonggol Jati, Utusan Islam Demak yang melahirkan Tradisi Sadranan di Cepogoo

Mbah Bonggol Jati alias Syekh Maulana Ibrahim adalah utusan Kesultanan Demak abad ke-15. Ia ditugaskan untuk menyebarkan Islam ke Selatan. Sesampainya di tanah Cepogo, Boyolali, ia menerapkan cara dakwah yang halus. Seperti apa ceritanya?

RAGIL LISTYO, Boyolali

GAMBARNYA yang sabar dan mampu berbaur selalu melekat di benak masyarakat Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, Boyolali. Mbah Bonggol Jati dimakamkan di Makam Puralaya, Dusun/Desa Sukabumi, Cepogo, bersama murid dan cucunya.

Tetua desa setempat, KH Masykuri menjelaskan, Mbah Bonggol Jati merupakan murid Sunan Kalijaga. Nama asli Syekh Maulana Ibrahim. Dia dikirim untuk menyebarkan Islam ke selatan. Nama tersebut berubah setelah berbaur dengan masyarakat dan tradisi di Sukabumi.

“Syekh Maulana Ibrahim bisa berbaur dengan masyarakat. Kemudian namanya berubah menjadi Mbah Bonggol Jati. Jadi, dia membuat rumah dari kayu untuk mengajarkan agama. Lokasinya di makam Puralaya ini,” ujarnya kepada Jawa Pos Radar Solo.

Joglo tempat Mbah Bonggol Jati mengajar sekarang disebut Joglo Pasegban. Ukurannya 3×3 meter persegi. Di joglo, Mbah Bonggol Jati mengajarkan agama melahirkan tradisi hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam, yaitu sadranan.

Awalnya ada tradisi bubak yaitu membersihkan makam. Tradisi ini sudah berlangsung lama di kalangan masyarakat Jawa. Saat itu Mbah Bonggol Jati tidak melarang. Ia bahkan berbaur dengan masyarakat sambil secara halus menyisipkan ajaran Islam.

Dari tradisi bubak inilah muncul nilai gotong royong. Sehingga bubak dilakukan secara bersamaan. Setelah berbuka, masyarakat akan membawa makanan dari tanah dan makan bersama. Meski sederhana, orang-orang rukun bersama.

Kemudian diadakan pula tradisi besik yang artinya berziarah ke makam ahli waris yang telah meninggal. Dalam tradisi besik inilah tertanam doa-doa ziarah kubur.

Makam Kiai Bonggol Jati. (RAGIL LISTIYO/RADAR SOLO)

Estafet penyebaran Islam oleh Mbah Bonggol Jati dilanjutkan oleh keponakannya, yaitu Kiai Kagiring. Kemudian berlanjut hingga cucunya yaitu Kiai Reksoyudo I. Dari sosok Kiai Reksoyudo I inilah lahir tradisi sadranan.

“Mereka utusan dari Demak. Dan tradisi sadranan itu sudah dilakukan sejak abad ke-16 hingga sekarang,” tambah kakek buyut Kyai Reksoyudo I ini. (*/adi)

Reporter: Ragil Listiyo