besti69
besti69
besti69
besti69

May Day, SPSI Solo Perjuangkan Asuransi Bagi Pekerja Informal

RADARSOLO.COM-May Day atau Hari Buruh ini dimanfaatkan oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Solo untuk memperjuangkan asuransi bagi pekerja informal di Kota Bengawan. Sehingga ketika terjadi kecelakaan kerja, mereka ditanggung oleh asuransi. Meskipun mereka tidak memiliki perusahaan yang merawat mereka. Ambil contoh, buruh angkut dan relawan pengatur lalu lintas (supeltas).

“Saya sempat mempertanyakan polisi, alasannya mereka tidak bisa memberikan asuransi kepada pengawas yang selama ini membantu polisi. Padahal sudah ada asuransi shield yang dikeluarkan BPJS Ketenagakerjaan yang hanya Rp17.000 per bulan,” kata Ketua SPSI Solo Wahyu Rahadi kepada Jawa Pos Radar Solo, Sabtu (29/4/2023).

Tujuannya, ketika terjadi kecelakaan kerja, pihak asuransi bisa membantu pekerja informal. Selain itu, Wahyu juga akan mendorong Pemkot Surakarta untuk memperhatikan asuransi bagi pekerja informal. Harapannya, asuransi tersebut bisa disamakan dengan asuransi kesehatan dalam bentuk KIS.

“Tapi KIS tidak cukup sekarang. Namun bagaimana cara melindungi masyarakat rentan dalam hal asuransi? Bayangkan jika mereka bisa mengambil asuransi hanya dengan Rp 17.000 per bulan. Mereka memiliki jaminan kematian hingga Rp. 42 juta, bahkan anaknya bisa mendapatkan beasiswa,” jelasnya.

Wahyu mengaku saat ini pihaknya sedang membangun program asuransi bagi pekerja informal. Tak hanya itu, Wahyu juga mengadvokasi perusahaan UMKM, tapi sebenarnya bukan UMKM. Selain itu, SPSI Solo juga mengkaji apakah pekerja perusahaan yang termasuk dalam non UMKM seperti franchisee sudah dibayar sesuai UMK atau belum.

“Akhirnya kami membantu para pengemudi ojol yang mempertanyakan apakah mereka mendapatkan THR atau tidak? Tidak ada sistem kemitraan dalam undang-undang. Sementara kami melihat bahwa para pengemudi ojol sebenarnya memiliki hubungan kerja antara pemberi kerja dan pemberi upah. Nah, ini yang harus bisa kita pelajari bersama. Untuk membantu mereka mendapatkan haknya sesuai undang-undang,” ujarnya.

Sedangkan berbicara tentang pengusaha dan tenaga kerjanya, ibarat dua sisi mata uang. Pelengkap, agar mata uang menjadi bernilai. Begitu juga dengan hubungan industrial. Banyak yang telah diatur melalui regulasi. Sayangnya ada beberapa hal yang sering terjadi perbedaan persepsi.

“Harus dikomunikasikan secara intensif,” kata Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Solo Sri Saptono Basuki.

Menurutnya, sudah ada saluran komunikasi yang tersedia. Misalnya forum komunikasi antara pengusaha dan pekerja (Bipartit). Juga forum komunikasi pemerintah, pengusaha dan pekerja (Tripartit). Namun sayang, komunikasi terkadang tidak berjalan lancar.

“Masing-masing memiliki persepsi yang berbeda, bahkan ada kepentingan lain yang juga terkadang mengintervensi,” lanjutnya.

Basuki mengatakan, jika hubungan industrial Pancasila dapat didefinisikan dan dikomunikasikan ke dalam suatu bentuk penciptaan nilai, maka bukan tidak mungkin menciptakan daya ungkit yang dapat menjadi daya saing.

“Saatnya berbicara tentang kinerja, kualitas produktivitas, mitra, dan aset. Jika dikelola dengan baik, maka peluang untuk menjadi lebih baik akan terbuka lebar,” jelasnya.

Basuki berharap tidak ada lagi politisasi hal-hal yang menimbulkan perpecahan. Ia mengajak pengusaha dan pekerja untuk membangun kemitraan ini demi kebaikan semua aspek yang berkelanjutan.

“Pekerja mendapatkan kelayakan hidup dan pengusaha mendapatkan kelayakan untuk berusaha. Pemerintah memberikan ruang positif dan pemerataan agar ekosistem ini dapat tumbuh menuju kesejahteraan yang berkeadilan sosial,” ujarnya. (aya/wa)

Reporter: Septina Fadia