besti69
besti69
besti69
besti69

Minimal GPK, Sekolah Inklusif Buka Jam Tambahan

RADARSOLO.COM – Guru pendamping atau guru bayangan merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran bagi ABK. Terutama di sekolah inklusi. Tapi apakah semua kru membutuhkan guru bayangan?

Tidak semua anak berkebutuhan khusus memiliki perilaku yang sama dan mematuhi aturan ketat dunia pendidikan formal di sekolah inklusi. Bagi guru, penanganan ABK membutuhkan usaha dan kesabaran ekstra. Termasuk metode dan strategi sesuai kebutuhan ABK. Tak jarang, ABK membutuhkan guru pendamping untuk membantu memahami informasi yang disampaikan guru.

“Di sini hanya ada satu guru pendamping khusus (GPK). Jadi beberapa orang tua menyediakan guru bayangan. Itu pun atas inisiatif orang tua mereka. Jadi kalau anak-anak (ABK) ini mendapat informasi, mereka butuh guru pembimbing di samping mereka,” jelas GPK SD Nayu Barat II Surakarta Alit Martaningrum, kemarin.

Keterbatasan GPK membuat sekolah harus menggunakan metode full out. Memberikan tambahan jam belajar di luar kelas, bagi siswa berkebutuhan khusus kelas I-VI. Tujuannya agar ABK tertinggal dalam menyerap materi pembelajaran.

“Karena GPK hanya satu, tidak mungkin masuk semua kelas. Jadi kita menggunakan metode full out. Jadi ABK kadang belajar di dalam dan di luar kelas. Karena kami sekolah inklusi, berbeda dengan sekolah luar biasa yang memiliki guru khusus untuk anak berkebutuhan khusus,” imbuhnya.

Kepala SDN Nayu Barat II Surakarta Wahyu Ratnawati menambahkan, penanganan siswa berkebutuhan khusus berbeda. Sebagai sekolah inklusi, kami terus berupaya memfasilitasi kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus. Sesuai dengan tujuan Kurikulum Mandiri yaitu menyenangi siswa di sekolah dengan pembelajaran yang berdiferensiasi.

“Di sekolah kami banyak siswa inklusi yang pindah dari sekolah lain. Karena sekolah lama tidak bisa menanganinya, maka ia datang ke sini. Sebelumnya sudah koordinasi dengan guru, siap tidak menerima siswa ABK? Kami juga memberikan pengertian kepada orang tua mereka. Dan siswa mengikuti tes penilaian terlebih dahulu untuk mengetahui minatnya,” jelasnya.

Dari tes tersebut, akan diketahui metode pembelajaran apa yang sesuai. Misalnya setelah dites ada ABK yang punya dan ada yang tidak bisa membaca. Termasuk disleksia.

“Selain siswa ABK, kami juga merangkul orang tua mereka. Mereka mendapat pelatihan khusus dalam menangani ABK,” ujarnya. (ian/fer/bendungan)

Reporter: Septian Refvinda Argiandini